Posisi Fiksi Populer Di Indonesia
Aprinus Salam(1*)
(1) 
(*) Corresponding Author
Abstract
Dalam sejarah sastra Indonesia, fenomena fiksi populer mulai dikenal pada tahun 1890-an, yaitu bacaan yang ditulis oleh orang Cina-Melayu dengan menggunakan bahasa Melayu-pasaran (rendahan) yang berjudul Sobat Anak-Anak karya Lie Kim Hok. Bacaan ini dianggap hanya menampilkan cerita-cerita yang ringan dengan maksud sekedar menghibur. Konsumen bacaan itu juga terbatas di kalangan tertentu saja (Nio Joe Lan, 1962: 9-10). Pada tahun 1930-an, gejala fiksi populer menghangat kembali dengan banyaknya terbitan "roman Medan", yang di kemudian hari oleh R. Roolvink (1959) disebut sebagai "roman pitjisan". Dalam hal ini, gejala itu dimaksud sebagai bacaan murahan walaupun harganya tidak harus lebih murah dari pada buku-buku yang dianggap lebih sastra. Yang dimaksud dengan murahan di sini adalah bacaan yang mudah dicerna, tidak mengandung kontemplasi yang serius, stereotip, dan dalam beberapa hal relatif mengeksplotasi seks, suatu bacaan yang sekedar menghibur pembaca dengan cara sederhana, secara sambil lalu.
Pada paruh kedua tahun 1980-an, masyarakat dihebohkan dengan hadirnya seri Lupus karya Hilman (seperti Tangkaplah Daku Kau Kujitak
Berangkat dari kenyataan tersebut, dalam kesempatan ini diambil dua persoalan yang akan dijadikan fokus permasalahan. Pertama, implikasi-implikasi apa yang terkait dengan fiksi populer dan proses ideologis bagaimana yang mendasari kriteria tersebut. Kedua, dalam konteks sejarah sosial (politik dan ekonomi) Indonesia, bagaimana posisi fiksi populer. Untuk masalah ini, akan tetapi, rentang waktu yang dibicarakan terutama pada tahun 1970-an dan setelahnya.
Pada paruh kedua tahun 1980-an, masyarakat dihebohkan dengan hadirnya seri Lupus karya Hilman (seperti Tangkaplah Daku Kau Kujitak
Berangkat dari kenyataan tersebut, dalam kesempatan ini diambil dua persoalan yang akan dijadikan fokus permasalahan. Pertama, implikasi-implikasi apa yang terkait dengan fiksi populer dan proses ideologis bagaimana yang mendasari kriteria tersebut. Kedua, dalam konteks sejarah sosial (politik dan ekonomi) Indonesia, bagaimana posisi fiksi populer. Untuk masalah ini, akan tetapi, rentang waktu yang dibicarakan terutama pada tahun 1970-an dan setelahnya.
Full Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.22146/jh.757
Article Metrics
Abstract views : 2785 | views : 3971Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2012 Aprinus Salam
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.