PERANAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DAN YAYASAN KEAGAMAAN DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KESEHATAN DI DAERAH TERPENCIL
Laksono Trisnantoro(1*)
(1) 
(*) Corresponding Author
Abstract
Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa
pelayanan kesehatan di daerah terpencil sulit
dilakukan oleh pemerintah. Kontrak bidan dan dokter
perorangan masih belum dapat memberikan jawaban
tentang penyelesaian masalah daerah terpencil ini.
Laporan dari Pusrengun tahun 20071 menyatakan
bahwa: 30% dari 7.500 Puskesmas di daerah
terpencil tidak mempunyai tenaga dokter. Survei
yang dilakukan Pusrengun di 78 kabupaten di 17
propinsi di Indonesia menemukan hal menarik. Dari
1.165 Puskesmas di daerah tersebut, 364
Puskesmas (31%) berada di daerah terpencil/belum
berkembang/perbatasan/ konflik dan bencana atau
di daerah yang buruk situasinya. Sekitar 50% dari
364 Puskesmas dilaporkan tidak mempunyai dokter.,
18% tanpa perawat, 12% tanpa bidan, 42% tanpa
tenaga sanitarian, dan 64% tanpa tenaga ahli gizi.
Dibandingkan dengan daerah biasa, gambaran ini
sangat buruk. Sebagai contoh, di daerah biasa hanya
5% Puskesmas yang tanpa dokter. Dalam hal
tenaga spesialis juga terlihat ketimpangan. Menurut
data dari KKI (2007), DKI Jakarta mempunyai 2890
spesialis (23,92%). Jawa Timur 1980 (16.39%), Jawa
Barat 1881 (15,57%). Sementara itu, di Sumatera
Barat hanya 167 (1.38%).
Ketidaktersediaan tenaga medik dan kesehatan
ini menjadi semakin berat implikasinya karena adanya
Jaminan Kesehatan Masyarakat. Ketimpangan
penyebaran spesialis ini merupakan hal yang tidak
adil, terutama dalam konteks kebijakan nasional yang
menggunakan pembayaran penuh untuk masyarakat
miskin. Di daerah yang jarang dokter spesialisnya,
masyarakat miskin atau setengah miskin akan
kesulitan mendapatkan akses ke pelayanan medik.
Sebaliknya di tempat yang banyak dokternya akan
sangat mudah. Akibatnya dana pusat untuk
masyarakat miskin dikhawatirkan terpakai lebih
banyak di kota-kota besar dan di pulau Jawa.
Problem kontrak perorangan memang
kompleks. Untuk daerah-daerah terpencil dapat
dibayangkan betapa sulitnya seorang dokter muda
atau bidan muda untuk berangkat sendiri, bekerja di
lingkungan yang baru tanpa ada dukungan tim kerja
yang baik. Akhirnya di beberapa daerah dilaporkan
bahwa dokter kontrak di daerah sangat terpencil
tidak pernah sampai atau jarang berada di tempat.
Pengalaman di Kabupaten Aceh Barat seperti yang
dilaporkan dalam JMPK edisi lalu menunjukkan
bahwa pengiriman tim merupakan hal yang baik
walaupun biaya menjadi lebih besar.
Pertanyaan penting dalam hal ini adalah
bagaimana mengatasi masalah pengiriman tenaga ke
daerah. Tanpa ada pengiriman maka berbagai fasilitas
fisik dan peralatan yang ada di daerah akan sia-sia
karena tidak ada yang menjalankan. Dalam hal ini ada
pertanyaan mengenai peranan Lembaga Swadaya
Masyarakat dan Yayasan Keagamaan: Apakah LSM
dan Yayasan keagamaan dapat dimobilisir untuk
mengatasi masalah ini? Dalam konteks pengadaan
tenaga, LSM yang baik dan Yayasan Keagamaan
merupakan pihak yang dapat memobilisir, mengirimkan
dan menjamin mutu pelayanan. Kerjasama antara
pemerintah dengan LSM dan Yayasan Keagamaan
dapat berupa kontrak kerja.
Pertanyaan tersebut menarik untuk dijawab karena
selama ini belum ada hubungan yang terjadi antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan Lembaga
Swadaya dan Yayasan Kemanusiaan. Masih ada
stigma bahwa LSM merupakan lembaga yang sering
berbeda pendapat dengan pemerintah. Di samping itu,
juga diakui bahwa kemampuan LSM untuk
memberikan pelayanan kesehatan, terutama di daerah
sulit dan terpencil masih belum banyak. Pengalaman
sukarelawan di dalam bencana alam di Aceh tahun
2005-05 menunjukkan bahwa bantuan pemberian
pelayanan didominasi oleh LSM luar negeri.
Pertanyaan ini sebenarya merupakan ide yang
perlu dicoba. Diharapka ada eksperimen mengenai
hal ini. Jika berhasil uji-cobanya, di masa depan,
diharapkan pemerintah dapat menjalin kerja sama
dengan LSM dan Yayasan Keagamaan untuk
pengiriman tenaga di daerah terpencil. Laksono
Trisnantoro (trisnantoro@yahoo.com)
KEPUSTAKAAN
1. Kurniati, Anna. Incentives for Medical Workers
and Midwives in Very Remote Areas An
Experience from Indonesia. Mimeo. 2007
pelayanan kesehatan di daerah terpencil sulit
dilakukan oleh pemerintah. Kontrak bidan dan dokter
perorangan masih belum dapat memberikan jawaban
tentang penyelesaian masalah daerah terpencil ini.
Laporan dari Pusrengun tahun 20071 menyatakan
bahwa: 30% dari 7.500 Puskesmas di daerah
terpencil tidak mempunyai tenaga dokter. Survei
yang dilakukan Pusrengun di 78 kabupaten di 17
propinsi di Indonesia menemukan hal menarik. Dari
1.165 Puskesmas di daerah tersebut, 364
Puskesmas (31%) berada di daerah terpencil/belum
berkembang/perbatasan/ konflik dan bencana atau
di daerah yang buruk situasinya. Sekitar 50% dari
364 Puskesmas dilaporkan tidak mempunyai dokter.,
18% tanpa perawat, 12% tanpa bidan, 42% tanpa
tenaga sanitarian, dan 64% tanpa tenaga ahli gizi.
Dibandingkan dengan daerah biasa, gambaran ini
sangat buruk. Sebagai contoh, di daerah biasa hanya
5% Puskesmas yang tanpa dokter. Dalam hal
tenaga spesialis juga terlihat ketimpangan. Menurut
data dari KKI (2007), DKI Jakarta mempunyai 2890
spesialis (23,92%). Jawa Timur 1980 (16.39%), Jawa
Barat 1881 (15,57%). Sementara itu, di Sumatera
Barat hanya 167 (1.38%).
Ketidaktersediaan tenaga medik dan kesehatan
ini menjadi semakin berat implikasinya karena adanya
Jaminan Kesehatan Masyarakat. Ketimpangan
penyebaran spesialis ini merupakan hal yang tidak
adil, terutama dalam konteks kebijakan nasional yang
menggunakan pembayaran penuh untuk masyarakat
miskin. Di daerah yang jarang dokter spesialisnya,
masyarakat miskin atau setengah miskin akan
kesulitan mendapatkan akses ke pelayanan medik.
Sebaliknya di tempat yang banyak dokternya akan
sangat mudah. Akibatnya dana pusat untuk
masyarakat miskin dikhawatirkan terpakai lebih
banyak di kota-kota besar dan di pulau Jawa.
Problem kontrak perorangan memang
kompleks. Untuk daerah-daerah terpencil dapat
dibayangkan betapa sulitnya seorang dokter muda
atau bidan muda untuk berangkat sendiri, bekerja di
lingkungan yang baru tanpa ada dukungan tim kerja
yang baik. Akhirnya di beberapa daerah dilaporkan
bahwa dokter kontrak di daerah sangat terpencil
tidak pernah sampai atau jarang berada di tempat.
Pengalaman di Kabupaten Aceh Barat seperti yang
dilaporkan dalam JMPK edisi lalu menunjukkan
bahwa pengiriman tim merupakan hal yang baik
walaupun biaya menjadi lebih besar.
Pertanyaan penting dalam hal ini adalah
bagaimana mengatasi masalah pengiriman tenaga ke
daerah. Tanpa ada pengiriman maka berbagai fasilitas
fisik dan peralatan yang ada di daerah akan sia-sia
karena tidak ada yang menjalankan. Dalam hal ini ada
pertanyaan mengenai peranan Lembaga Swadaya
Masyarakat dan Yayasan Keagamaan: Apakah LSM
dan Yayasan keagamaan dapat dimobilisir untuk
mengatasi masalah ini? Dalam konteks pengadaan
tenaga, LSM yang baik dan Yayasan Keagamaan
merupakan pihak yang dapat memobilisir, mengirimkan
dan menjamin mutu pelayanan. Kerjasama antara
pemerintah dengan LSM dan Yayasan Keagamaan
dapat berupa kontrak kerja.
Pertanyaan tersebut menarik untuk dijawab karena
selama ini belum ada hubungan yang terjadi antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan Lembaga
Swadaya dan Yayasan Kemanusiaan. Masih ada
stigma bahwa LSM merupakan lembaga yang sering
berbeda pendapat dengan pemerintah. Di samping itu,
juga diakui bahwa kemampuan LSM untuk
memberikan pelayanan kesehatan, terutama di daerah
sulit dan terpencil masih belum banyak. Pengalaman
sukarelawan di dalam bencana alam di Aceh tahun
2005-05 menunjukkan bahwa bantuan pemberian
pelayanan didominasi oleh LSM luar negeri.
Pertanyaan ini sebenarya merupakan ide yang
perlu dicoba. Diharapka ada eksperimen mengenai
hal ini. Jika berhasil uji-cobanya, di masa depan,
diharapkan pemerintah dapat menjalin kerja sama
dengan LSM dan Yayasan Keagamaan untuk
pengiriman tenaga di daerah terpencil. Laksono
Trisnantoro (trisnantoro@yahoo.com)
KEPUSTAKAAN
1. Kurniati, Anna. Incentives for Medical Workers
and Midwives in Very Remote Areas An
Experience from Indonesia. Mimeo. 2007
Full Text:
PDF (Bahasa Indonesia)DOI: https://doi.org/10.22146/jmpk.v11i04.2690
Article Metrics
Abstract views : 7624 | views : 3272Refbacks
- There are currently no refbacks.