PERAN DEPARTEMEN KESEHATAN SEBAGAI REGULATOR DAN OPERATOR RUMAH SAKIT
Laksono Trisnantoro(1*)
(1) 
(*) Corresponding Author
Abstract
Sistem ekonomi di Indonesia memberikan
kesempatan kepada lembaga pelayanan kesehatan
swasta untuk bekerja, dan pihak masyarakat diberi
kesempatan pula untuk memberikan sumber
dayanya bagi pelayanan kesehatan. Keadaan ini
sudah ada sejak jaman kolonial Belanda.
Konsekuensinya, sektor kesehatan di Indonesia
saat ini sudah berkembang menjadi industri dengan
dasar hukum pasar.
Selama 10 tahun terakhir pertumbuhan Rumah
Sakit (RS) Swasta di Indonesia lebih besar (2,91%
rata-rata per tahun) dari RS pemerintah (1,25% ratarata
per tahun). Pada tahun 1998, jumlah RS
Pemerintah (589) lebih banyak dari RS Swasta (491)
dengan selisih 98 buah. Sejalan dengan pesatnya
perkembangan RS Swasta, pada tahun 2008 jumlah
RS swasta meningkat menjadi 653 buah dan sakit
pemerintah menjadi 667 Buah. Dengan demikian,
selisih semakin mengecil yaitu 14 buah.
Dalam waktu lima tahun terakhir, RS swasta
berbentuk perseroan terbatas naik dua kali lipat
menjadi 85. Pertambahan terutama di daerah-daerah
dengan ekonomi kuat. Rumah Sakit (RS) Yayasan
mengalami pertumbuhan antara tahun 1998 sampai
dengan 2002. Setelah itu, jumlah RS yayasan tidak
bertambah secara signifikan. Rumah Sakit (RS)
Perkumpulan sedikit bertambah pada tahun
2001.Selama 10 tahun terjadi perpindahan bentuk
(migrasi) RS Swasta. Ada 26 RS Yayasan berubah
menjadi RS PT. Sebaliknya 5 RS PT berubah
menjadi RS Yayasan. Sebagian besar RS yang
melakukan migrasi berada di kota-kota besar.
Data ini menggambarkan dinamika kuat dalam
sektor RS di Indonesia. Dinamika ini terpengaruh
oleh kekuatan pasar yang besar di Indonesia.
Sebagaimana suatu sektor yang dipengaruhi oleh
pasar, akan terjadi variasi dalam mutu pelayanan.
Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana mutu
pelayanan RS Swasta di Indonesia. Apakah sama
mutunya atau bervariasi dari mutu baik sampai mutu
buruk. Pertanyaan yang sama juga dapat diberikan
ke RS Pemerintah. Sayang pertanyaan ini sulit
dijawab karena memang belum ada sistem
pencatatan mutu RS yang dapat diandalkan.
Mengapa hal ini terjadi?
Sampai saat ini belum ada sistem yang
memisahkan antara regulator dan operator di sektor
kesehatan. Tanpa adanya regulator yang tepat maka
monitoring mutu pelayanan bukan hal yang mudah
untuk dilakukan. Hal ini berbeda dengan sektor
penerbangan yang sudah tegas memposisikan
Departemen Perhubungan sebagai regulator
sementara berbagai perusahaan transportasi
(termasuk Garuda) berfungsi sebagai operator.
Departemen Perhubungan tentunya mempunyai
catatan tentang mutu pelayanan penerbangan
termasuk angka kecelakaan. Perbandingan dengan
sektor perhubungan merupakan hal penting karena
sektor kesehatan dan sektor transportasi
menempatkan keselamatan (safety) sebagai isu
penting.
Departemen Kesehatan sendiri saat ini, masih
rancu dalam memposisikan diri apakah sebagai
regulator ataukah operator sistem pelayanan
kesehatan. Sebagai gambaran Direktorat Jenderal
Bina Pelayanan Medik masih bersifat rangkap:
sebagai operator sekitar 40-an RS pemerintah pusat,
sekaligus sebagai regulator lebih dari seribu RS di
Indonesia. Keadaan ini diharapkan tidak berlangsung
lama lagi. Perlu ada kebijakan jelas untuk
memisahkan kedua fungsi tersebut di pemerintah.
Kebijakan hal ini tidak hanya menyangkut aspek
teknis kesehatan namun juga politis dimana pasti
banyak pihak yang akan diuntungkan oleh
perubahan ini, sementara itu juga ada banyak pihak
yang akan dirugikan. Namun, membiarkan Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
mempunyai fungsi rangkap, jelas merupakan hal
yang tidak baik untuk pembangunan kesehatan.
Laksono Trisnantoro, trisnantoro@yahoo.com
kesempatan kepada lembaga pelayanan kesehatan
swasta untuk bekerja, dan pihak masyarakat diberi
kesempatan pula untuk memberikan sumber
dayanya bagi pelayanan kesehatan. Keadaan ini
sudah ada sejak jaman kolonial Belanda.
Konsekuensinya, sektor kesehatan di Indonesia
saat ini sudah berkembang menjadi industri dengan
dasar hukum pasar.
Selama 10 tahun terakhir pertumbuhan Rumah
Sakit (RS) Swasta di Indonesia lebih besar (2,91%
rata-rata per tahun) dari RS pemerintah (1,25% ratarata
per tahun). Pada tahun 1998, jumlah RS
Pemerintah (589) lebih banyak dari RS Swasta (491)
dengan selisih 98 buah. Sejalan dengan pesatnya
perkembangan RS Swasta, pada tahun 2008 jumlah
RS swasta meningkat menjadi 653 buah dan sakit
pemerintah menjadi 667 Buah. Dengan demikian,
selisih semakin mengecil yaitu 14 buah.
Dalam waktu lima tahun terakhir, RS swasta
berbentuk perseroan terbatas naik dua kali lipat
menjadi 85. Pertambahan terutama di daerah-daerah
dengan ekonomi kuat. Rumah Sakit (RS) Yayasan
mengalami pertumbuhan antara tahun 1998 sampai
dengan 2002. Setelah itu, jumlah RS yayasan tidak
bertambah secara signifikan. Rumah Sakit (RS)
Perkumpulan sedikit bertambah pada tahun
2001.Selama 10 tahun terjadi perpindahan bentuk
(migrasi) RS Swasta. Ada 26 RS Yayasan berubah
menjadi RS PT. Sebaliknya 5 RS PT berubah
menjadi RS Yayasan. Sebagian besar RS yang
melakukan migrasi berada di kota-kota besar.
Data ini menggambarkan dinamika kuat dalam
sektor RS di Indonesia. Dinamika ini terpengaruh
oleh kekuatan pasar yang besar di Indonesia.
Sebagaimana suatu sektor yang dipengaruhi oleh
pasar, akan terjadi variasi dalam mutu pelayanan.
Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana mutu
pelayanan RS Swasta di Indonesia. Apakah sama
mutunya atau bervariasi dari mutu baik sampai mutu
buruk. Pertanyaan yang sama juga dapat diberikan
ke RS Pemerintah. Sayang pertanyaan ini sulit
dijawab karena memang belum ada sistem
pencatatan mutu RS yang dapat diandalkan.
Mengapa hal ini terjadi?
Sampai saat ini belum ada sistem yang
memisahkan antara regulator dan operator di sektor
kesehatan. Tanpa adanya regulator yang tepat maka
monitoring mutu pelayanan bukan hal yang mudah
untuk dilakukan. Hal ini berbeda dengan sektor
penerbangan yang sudah tegas memposisikan
Departemen Perhubungan sebagai regulator
sementara berbagai perusahaan transportasi
(termasuk Garuda) berfungsi sebagai operator.
Departemen Perhubungan tentunya mempunyai
catatan tentang mutu pelayanan penerbangan
termasuk angka kecelakaan. Perbandingan dengan
sektor perhubungan merupakan hal penting karena
sektor kesehatan dan sektor transportasi
menempatkan keselamatan (safety) sebagai isu
penting.
Departemen Kesehatan sendiri saat ini, masih
rancu dalam memposisikan diri apakah sebagai
regulator ataukah operator sistem pelayanan
kesehatan. Sebagai gambaran Direktorat Jenderal
Bina Pelayanan Medik masih bersifat rangkap:
sebagai operator sekitar 40-an RS pemerintah pusat,
sekaligus sebagai regulator lebih dari seribu RS di
Indonesia. Keadaan ini diharapkan tidak berlangsung
lama lagi. Perlu ada kebijakan jelas untuk
memisahkan kedua fungsi tersebut di pemerintah.
Kebijakan hal ini tidak hanya menyangkut aspek
teknis kesehatan namun juga politis dimana pasti
banyak pihak yang akan diuntungkan oleh
perubahan ini, sementara itu juga ada banyak pihak
yang akan dirugikan. Namun, membiarkan Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
mempunyai fungsi rangkap, jelas merupakan hal
yang tidak baik untuk pembangunan kesehatan.
Laksono Trisnantoro, trisnantoro@yahoo.com
Full Text:
PDF (Bahasa Indonesia)DOI: https://doi.org/10.22146/jmpk.v12i01.2559
Article Metrics
Abstract views : 3531 | views : 1401Refbacks
- There are currently no refbacks.