PATIWANGI SANCTION IN BALINESE HINDU COMMUNITY’S LEGAL CULTURE
Ida Ayu Sadnyini(1*)
(1) Undiknas University
(*) Corresponding Author
Abstract
Abstract
Inter-dynastic marriage today has been commonly held by Hindu community that has a vertically closed social stratification called dynasty. Couples who wants to perform inter-dynastic marriages before 1951 are required to conduct patiwangi ceremony in addition to the discharge penalty into areas outside Bali (Selong). Sanctions of patiwangi ceremony have been removed by some rules, but the community still conducts it. From this background, problems arise as follows: What is the meaning of patiwangi ceremony? Why are people still perform the patiwangi ceremony sanction?. The method used is the type of empirical legal research, using qualitative descriptive analysis. The meaning of patiwangi sanctions is to lower dignity and honor of a caste woman. People still perform the patiwangi because patiwangi is a legal culture that has penetrated into the soul of Hindu community in Bali.
Intisari
Makna sanksi upacara patiwangi adalah menurunkan derajat, kehormatan, keharuman wangsa dari perempuan yang memiliki wangsa brahmana, ksatria, dan weisya. Upacara patiwangi mengandung pelecehan baik dari segi sebutan istilah maupun pelaksaan upacara patiwangi. Oleh karena itu sudah
sepantasnya upacara patiwangi dihapus, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kesetaraan, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai keadilan, dan nilai-nilai kearifan lokal. Berdasarkan hasil penelitian upacara patiwangi masih tetap dilakukan oleh masyarakat Hindu karena merasa yakin sanksi upacara patiwangi akan membawa keseimbangan dan kebaikan bagi pelaku perkawinan antar-wangsa. Upacara patiwangi sudah menjadi budaya hukum hukum bagi sebagian masyarakat Hindu di Bali.
Keywords
Full Text:
PDFReferences
Buku Ali Achmad dan Wiwie Heryani, 2012, Resep Hukum Sebuah Bunga Rampai, Kencana Prenada Media Group. Anom Ida Bagus, 2010, Perkawinan Menurut Adat Agama Hindu, CV Kayumas Agung Denpasar. Budiana I Nyoman, 2009, Perkawinan Beda Wangsa dalam Masyarakat Bali, Graha Ilmu. Chainur Arrasjid, 2004, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. George Ritzer, 1992, Sosiologi Berparadigma Ganda, Rajawali Pers. Gunadha Ida Bagus, 2012, Aneka Politik Hindu, Widya Dharma bekerjasama dengan Program Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia. Kembar Kerepun Made, 2004, Benang Kusut Nama Gelar Di Bali, Bali Media Adhikarsa Denpasar Bali. Lawrence M. Freidman, 1969, The Legal System ; A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York. Otje Salman Seomadiningrat H.R., 2002, Konseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni Bandung. Panetje Gde, 1989, Aneka Catatan tentang Hukum Adat Bali, Guna Agung, Denpasar. Sadnyini Ida Ayu, 2015, Dinamika Sanksi Hukum Adat Dalam Perkawinan Antar-Wangsa Di Bali (Perspektif-HAM) Disertasi, Program PascaSarjana Universitas Udayana Denpasar 2015. _______, 2016, Sanksi Perkawinan Terlarang Di Bali Dulu Dan Kini, Udayana University Press Denpasar. Soerjono Soekanto, 1976, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta. ________,1992, Intisari Hukum Keluarga, Citra Aditya Bakti Bandung. ________, 2001, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers Jakarta. Suastika Dharmayudha I Made dan I Wayan Koti Cantika, 1991, Filasafat Adat Bali, Upada Sastra. Subagiasta I Ketut, 2012, Praktek Agama Hindu, Pustaka Bali Post Denpasar. Sudantra I Ketut, I Gusti Ngurah Sudana, Komang Gede Narendra, 2011, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali , LPPM Universitas Udayana Bali. Svalastoga, 1989, Difrensiasi Sosial, Bina Aksara. Widnyana I Made, 1992, Eksistensi Delik Adat dalam Pembangunan, Orasi Ilmiah disampaikan di hadapan sidang Terbuka Senat Universitas Udayana. Windia P Wayan, 2004, Danda Pacamil, Catatan popular Istilah Hukum Adat Bali, Upada Sastra Denpasar. Wiranata A.B. I Gede, 2005, Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung. Yehezkel Dror, 1959, Law and Social Change, dalam Wilhem Aubert, ed. Sosiologi of Law (Minddlssex: Penguin Books, 1973). Awig-awig Awig-Awig Desa Pakraman Kuwum Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan, Warsa 2014, h. 22. Lontar Lontar Adigama, perihal tentang pencurian yang dilakukan oleh para pelayan seperti : juru anyi, juru ayahin, yiadin parekan, yan melaksana anayah, pituwi memaling, semua perbuatan tersebut disebut patiwangi. Lontar Brahma Tatwa ditulis oleh pengelingsir Gria Ida Bagus Putu Gria Pada Tahun 1923, Gria Jumpung Desa Sesandan.
DOI: https://doi.org/10.22146/jmh.17639
Article Metrics
Abstract views : 2839 | views : 2785Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2017 Ida Ayu Sadnyini
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.