AKSES KEADILAN BAGI RAKYAT MISKIN (DILEMA DALAM PEMBERIAN BANTUAN HUKUM OLEH ADVOKAT)
Agus Raharjo(1*), A Angkasa(2), Rahadi Wasi Bintoro(3)
(1) Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Jalan Prof. Dr. H.R. Boenyamin 708, Grendeng, Purwokerto, Jawa Tengah 53122
(2) Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Jalan Prof. Dr. H.R. Boenyamin 708, Grendeng, Purwokerto, Jawa Tengah 53122
(3) Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Jalan Prof. Dr. H.R. Boenyamin 708, Grendeng, Purwokerto, Jawa Tengah 53122
(*) Corresponding Author
Abstract
Legal aid for the poor people is a right, but in practice it is hard to do. There is a contradiction between law No. 16 of 2011 which gives obligation of the granting of legal aid is located at LAO which have been accredited, and the provisions of Article 22 (1) of law No. 18 of 2003 which gives obligation to the advocate as an individual. In the realm of practice, the granting of legal aid is not running properly because many advocate/LAO who still wear rate/fee, shifting ideology advocates from officium nobile to the commercialization, and the convoluted Government disbursements.
Bantuan hukum bagi rakyat miskin merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi, tetapi praktiknya terasa sulit. Metode penelitian hukum normatif dan empiris digunakan untuk mengungkap persoalan tersebut. Terdapat kontradiksi antara UU No. 16 Tahun 2011 dengan UU No. 18 Tahun 2003. Berdasar UU No. 16 Tahun 2011, kewajiban pemberian bantuan hukum terletak pada OBH yang telah terakreditasi, bukan pada advokat sebagai individu sebagaimana ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003. Pada ranah praktik, pemberian bantuan hukum ini tak berjalan semestinya karena banyak advokat/OBH yang mengenakan tarif/bayaran kepada orang yang dibelanya, pergeseran ideologi advokat dari officium nobile ke komersialisasi perkara, dan pencairan dana pemerintah yang berbelit-belit.
Bantuan hukum bagi rakyat miskin merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi, tetapi praktiknya terasa sulit. Metode penelitian hukum normatif dan empiris digunakan untuk mengungkap persoalan tersebut. Terdapat kontradiksi antara UU No. 16 Tahun 2011 dengan UU No. 18 Tahun 2003. Berdasar UU No. 16 Tahun 2011, kewajiban pemberian bantuan hukum terletak pada OBH yang telah terakreditasi, bukan pada advokat sebagai individu sebagaimana ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003. Pada ranah praktik, pemberian bantuan hukum ini tak berjalan semestinya karena banyak advokat/OBH yang mengenakan tarif/bayaran kepada orang yang dibelanya, pergeseran ideologi advokat dari officium nobile ke komersialisasi perkara, dan pencairan dana pemerintah yang berbelit-belit.
Keywords
access to justice, legal aid, poor people, pro bono publico, officium nobile, akses pada keadilan, bantuan hukum, rakyat miskin, pro bono publico, officium nobile
Full Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.22146/jmh.15881
Article Metrics
Abstract views : 11883 | views : 14955Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2015 Agus Raharjo, A Angkasa, Rahadi Wasi Bintoro
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.