Lari Dari Kenyataan: Raj, Priyayi, Dan Wong Cilik Biasa Di Kasunanan Surakarta, 1900-1915
. Kuntowijoyo(1*)
(1) 
(*) Corresponding Author
Abstract
Raja, priyayi, dan wong cilik biasa di Kasunanan Surakarta (Solo), 1900- 1915, terperangkap dalam sistem simbol. Sebenarnya mereka sama saja seperti orang lain yang tidak hanya hidup dalam kenyataan, tetapi juga dalam sistem simbol. Perbedaannya ialah sistem simbol mereka bertentangan dengan kenyataan. Pertentangan itu menyebabkan adanya patologi sosial di semua tingkat masyarakat, meskipun dengan kadar yang berbeda-beda. Perbedaan itu disebabkan oleh kedudukan dalam hierarki, berturut-turut mereka adalah raja, bangsawan, priyayi, wong cilik saudagar, dan wong cilik biasa.
Kali ini akan kita bicarakan tentang raja, priyayi, dan wong cilik biasa. Raja kita bicarakan karena ia berada di puncak hierarki, sedangkan priyayi karena mereka berada di tengah-tengah hierarki dan hidup sehari-hari di antara wong cilik, saudagar dan biasa. Mereka melihat para saudagar mengalami mobilitas sosial, sedangkan nasib mereka tidak berubah dan itulah kenyataan yang pedih bagi mereka. Sementara itu, wong cilik biasa kita bicarakan karena mereka berada di ujung yang sangat lemah dari hierarki dan kenyataan bagi mereka lebih berupa budaya kota yang sedang tumbuh daripada hierarki kekuasaan. Bangsawan tidak kita bicarakan karena mereka hanya merupakan lapisan yang tipis dari hierarki dan hidup terasing di purinya sendiri. Wong cilik saudagar tidak kita bicarakan, karena meskipun mereka dalam hierarki berada di ujung bersama wong cilik biasa, tetapi dengan kenyataan mereka bisa menghindar dari hierarki dan bisa mengkonsumsi budaya kota. Tidak pula kita bicarakan di sini orang asing, bangsawan "pikiran" (priyayi terpelajar), dan priyayi gupernemen karena mereka terbebas dari hierarki tradisional.
Kali ini akan kita bicarakan tentang raja, priyayi, dan wong cilik biasa. Raja kita bicarakan karena ia berada di puncak hierarki, sedangkan priyayi karena mereka berada di tengah-tengah hierarki dan hidup sehari-hari di antara wong cilik, saudagar dan biasa. Mereka melihat para saudagar mengalami mobilitas sosial, sedangkan nasib mereka tidak berubah dan itulah kenyataan yang pedih bagi mereka. Sementara itu, wong cilik biasa kita bicarakan karena mereka berada di ujung yang sangat lemah dari hierarki dan kenyataan bagi mereka lebih berupa budaya kota yang sedang tumbuh daripada hierarki kekuasaan. Bangsawan tidak kita bicarakan karena mereka hanya merupakan lapisan yang tipis dari hierarki dan hidup terasing di purinya sendiri. Wong cilik saudagar tidak kita bicarakan, karena meskipun mereka dalam hierarki berada di ujung bersama wong cilik biasa, tetapi dengan kenyataan mereka bisa menghindar dari hierarki dan bisa mengkonsumsi budaya kota. Tidak pula kita bicarakan di sini orang asing, bangsawan "pikiran" (priyayi terpelajar), dan priyayi gupernemen karena mereka terbebas dari hierarki tradisional.
Full Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.22146/jh.788
Article Metrics
Abstract views : 3884 | views : 7488Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2012 . Kuntowijoyo
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.