ULAMA DAN HIKAYAT PERANG SABIL DALAM PERANG B LANDA DI ACEH

https://doi.org/10.22146/jh.696

Imran T Abdullah(1*)

(1) 
(*) Corresponding Author

Abstract


Perang Belanda di Aceh pecah (April 1873) tidak lama setelah Traktat Sumatra (1 November 1871) ditandatangani antara Belanda dan Inggris untuk mengganti Traktat London (1824) yang menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh . Traktat yang baru disahkan itu memberikan peluang besar bagi Belanda untuk menguasai Aceh, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1, "Inggris menghapus perhatiannya atas perluasan kekuasaan Belanda di mana pun di Pulau Sumatra" (Said, 1961 : 351) . Agresi pertama dapat dipatahkan oleh pasukan Aceh, pihak Belanda menderita banyak kerugian, bahkan Jenderal Kohler gugur beserta 8 opsir dan sejumlah prajurit . Agresi kedua (9 Desember 1873) terjadi di bawah pimpinan Letjen van Swieten . Keraton jatuh pada 31 Januari 1874, Sultan Mahmud Syah mengungsi ke Pagar Ayer dan meninggal di sana karena wabah kolera. Van Swieten memproklamasikan kemenangan karena dengan menduduki keraton dan menguasai sebagian kecil daerah Aceh Besar; is mengira seluruh wilayah Aceh akan menyerah . Ternyata perlawanan semakin meningkat, ulama yang kebanyakan pimpinan dayah (pesantren) ikut berpartisipasi bersama santri mereka .

Full Text:

PDF



DOI: https://doi.org/10.22146/jh.696

Article Metrics

Abstract views : 4517 | views : 6608

Refbacks

  • There are currently no refbacks.




Copyright (c) 2012 Imran T Abdullah

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.