EDITORIAL
Abdul Wahid(1*)
(1) Universitas Gadjah Mada
(*) Corresponding Author
Abstract
Di tengah gegap gempita perayaan kemerdekaan Indonesia ke-70 pada 17 Agustus 2015 lalu, sekelompok orang mendeklarasikan berdirinya sebuah partai baru bernama “Partai Priboemi”. Dengan dukungan sejumlah Jenderal Purnawirawan TNI, partai tersebut secara resmi mendaftarkan dirinya sebagai lembaga berbadan hukum dengan mengusung slogan “religius, nasionalis, berbudaya”. Visi besar mereka adalah memperjuangkan kepentingan masyarakat pribumi yang dewasa ini—menurut mereka—semakin terancam oleh ekspansi kekuatan asing beserta agen-agen domestiknya. Belum terbukti bagaimana penerimaan masyarakat atas kelahiran partai baru tersebut karena kita harus menunggu setidaknya hingga pemilihan umum 2019 nanti. Namun, respons sementara sudah dapat disaksikan dari komentar netizens di berbagai media sosial, yang umumnya menunjukkan pandangan negatif, bahkan penolakan karena menganggap aspirasi politik tersebut hanyalah sensasi politik yang bernuansa “rasis” dan “ultranasionalis”. Terlepas dari pro-kontra yang ada, kehadiran partai baru tersebut cukup menggelitik kita untuk mempertanyakan kesahihan isu tentang masyarakat pribumi tersebut. Benarkah setelah 70 tahun merdeka, Indonesia masih memiliki persoalan dalam memberikan perlindungan masyarakat pribumi? Lalu, siapakah atau kelompok masyarakat manakah yang bisa disebut sebagai “pribumi” itu, dan seberapa memadai pengetahuan dan hasil riset yang ada tentang isu-isu tersebut?
Full Text:
PDFReferences
Smith, Linda T. Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous People. London: Zed Books, 1999.
DOI: https://doi.org/10.22146/jh.22442
Article Metrics
Abstract views : 1372 | views : 1624Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2017 Humaniora
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.