BAGAIMANA PERAN PERGURUAN TINGGI DALAM PENGEMBANGAN UNIVERSAL COVERAGE?
Laksono Trisnantoro(1*)
(1) 
(*) Corresponding Author
Abstract
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan (JMPK) bulan Juni 2010 ini merupakan edisi khusus yang membahas mengenai kebijakan untuk Universal Coverage. Mengapa dilakukan edisi khusus? Diharapkan edisi ini dapat merangsang para peneliti untuk menuliskan penelitian mengenai Universal Coverage, sekaligus mencoba menghadirkan JMPK ke para pengambil keputusan. Diharapkan JMPK menjadi salahsatu jembatan untuk menghubungkan antara dunia akademik dengan pengambilan keputusan yang selama ini kurang efektif. Pengalaman subyektif Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan-Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (PMPK-FK UGM) sebagai lembaga peneliti dan kebijakan menyiratkan penelitian memang belum dipergunakan secara penuh dalam sejarah program jaminan kesehatan di Indonesia. Dalam pengalaman tersebut dapat dilihat bahwa perguruan tinggi berada dalam posisi yang tidak mantap. Dalam hubungan segitiga tersebut, ada pengalaman empirik bahwa pendapat dari perguruan tinggi diabaikan dan hubungan kerja yang berbasis pada kontrak jangka pendek tidak dilanjutkan. Dalam pengalaman program JPKM di Klaten (awal dekade 90-an) pada saat fase identifikasi masalah dan isu untuk kebijakan terjadi perbedaan pendapat antara perguruan tinggi dan penyandang dana mengenai berbagai hal prinsipil. Dalam perbedaan pendapat ini maka dalam proses kebijakan selanjutnya (perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan) terlihat bahwa pihak perguruan tinggi dan lembaga penelitian kurang mendapat peran. Akibatnya tidak ada ruang untuk melakukan evaluasi independen terhadap efektivitas kebijakan model JPKM. Sebagai bangsa, Indonesia membuang kesempatan dalam masa pembelajaran besar antara tahun 1990-an ke tahun 2004. Pengalaman lain, pada awal tahun 2005 ketika kebijakan askeskin dilakukan, usulan untuk mengembangkan suatu sistem jaminan kesehatan yang detil ditulis berdasarkan good governance yang perlu dicoba secara empirik dengan melibatkan berbagai stakeholder. Usulan PMPK- FK UGM ditulis dalam bentuk dokumen saran untuk penyusunan kebijakan kesehatan yang didanai GTZ. Intinya usulan ini menyatakan bahwa kebijakan pembiayaan kesehatan bukan hanya menyangkut kebijakan, namun menyangkut berbagai hal lain yang kompleks, antara lain: rujukan kesehatan, ideologi, budaya para dokter, sampai ke masalah kompensasi. Namun usulan ini ternyata tidak diperhatikan. Akibatnya dana kegiatan askeskin melalui PT Askes Indonesia berjalan tanpa ada persiapan mengenai sistem pembiayaan dan pelayanan kesehatan, dan tidak disertai dengan evaluasi kebijakan secara ilmiah. Perubahan di tahun 2008 ke Jamkesmas, adalah kebijakan yang berada di luar jangkauan manfaat ilmu pengetahuan karena kebijakan ditetapkan secara situasional. Kebijakan ini merupakan hasil negosiasi pragmatis terhadap situasi yang mendesak. Secara keseluruhan, dalam masa 20 tahun terakhir ini, terlihat bahwa Perguruan Tinggi atau Lembaga Penelitian tidak ada yang menjadi mitra atau think-tank khusus untuk asuransi kesehatan. Hal ini berbeda dengan Reformasi Kesehatan oleh Presiden Obama yang didasari oleh sekelompok peneliti dari Harvard University, atau skema di Thailand yang merupakan sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Kegiatan yang terjadi lebih banyak pada hubungan antara pengambil kebijakan dan individuindividu di perguruan tinggi saja. Dalam konteks kekuatan tawar, tentunya hubungan ini menjadi lebih lemah dibanding dengan kalau ada hubungan organisasi antara pengambil kebijakan dan lembaga. Keahlian perorangan sebagai konsultan atau narasumber sangat rentan untuk tidak diteruskan. Dengan demikian secara jelas terlihat bahwa peran perguruan tinggi masih lemah. Apakah hal ini terkait dengan ketidakstabilan proses kebijakan, mulai dari perencanaan, penyusunan, sampai implementasi dan monitoring kebijakan jaminan kesehatan. Sebagai catatan: pembiayaan kesehatan adalah sebuah sistem yang riil yang dapat diukur keberhasilannya. Saat ini terlihat bahwa keberhasilan sistem jaminan kesehatan belum baik. Bagaimana dengan jaminan kesehatan yang ada di daerah. Dimana peran perguruan tinggi di daerah? Logikanya peran perguruan tinggi di kebijakan jaminan kesehatan di daerah akan lebih mudah karena skalanya yang lebih kecil dan akses ke pengambil kebijakan lebih muda. Akan tetapi data menunjukkan bahwa beberapa pemerintah daerah tidak menggunakan para dosen atau peneliti di daerah masing-masing. Sebagai penutup: dalam konteks sejarah di Indonesia, secara keseluruhan, peran Perguruan Tinggi belum berada dalam posisi yang baik. Dapat dikatakan bahwa perguruan tinggi atau lembaga penelitian belum pernah secara utuh berada dalam posisi sebagai pemberi masukan kebijakan dalam tahap penyusunan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, sampai monitoring dan evaluasi kebijakan, terutama di level nasional. Dipandang dari Evidence Based Policy situasi saat ini untuk sistem jaminan kesehatan adalah situasi dimana kurang ada bukti ilmiah kuat yang dipergunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. (Laksono Trisnantoro, trisnantoro@yahoo.com).
Full Text:
PDF (Bahasa Indonesia)DOI: https://doi.org/10.22146/jmpk.v13i02.2596
Article Metrics
Abstract views : 2726 | views : 1471Refbacks
- There are currently no refbacks.