Konstruksi Gender melalui Senjata Tradisional Bé. Rang di Sumbawa Nusa Tenggara Barat
Muhammad Tomi(1*), Wiwik Sushartami(2), M. Dwi Marianto(3)
(1) Universitas Gadjah Mada
(2) Prodi Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
(3) Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta
(*) Corresponding Author
Abstract
This paper deals with how the gender construction is realized through bé. rang in the community of Rempe Village, Seteluk District, West Sumbawa. Bé. rang is a traditional weapon of the Sumbawa people in the form of a slaughter weapon made by a panre (master/blacksmith). In general, the people of Sumbawa recognize three types of gender, namely tau salaki (male), tau swai (female) and tau calabai (transgender). The absence of tau swai and tau calabai in the nganyang tradition, the use of the term bé. rang as sanak salaki (brother), and differentiation and restriction of access to tau swai and tau calabai from the use of bé. rang, becoming the reason this research was conducted. The problem of this research is dissected using the concepts of externalization, objectivation, and internalization proposed by Peter L. Burger and Thomas Luckmann (1990). The results of this study indicate that in general gender construction occurs through bé. rang. This gender construction produces “value standards” which tend to be masculine and few discriminatory but quite dynamic. Besides that, the gender construction that is manifested through bé. rang is very structure/hierarchical and tends to be negotiative. This can be seen from how tau calabai that are still given the opportunity to access bé. rang salaki with the consideration that they will return to the “normal” tau salaki. The gender hierarchy is reflected in the classification according to the type of bé. rang that can be accessed, such as tau ode (boys), tau taruna (youth), tau salaki rango (adult men), tau swai (female) and tau calabai (banci) is evidence of a very structured and hierarchical gender construction. This gender construction occurred, was inherited and strengthened by existing institutions in the Sumbawa community such as the family, the West Sumbawa Regency Government, the Tana Samawa Customary Institution, the Rempe Village Government, schools, and the Titik Api group also played an important role as a tool of legitimacy in gender construction through bé. rang.
Penelitian ini menyoal bagaimana konstruksi gender terwujud melalui bé. rang di masyarakat Desa Rempe, Kecamatan Seteluk, Kabupaten Sumbawa Barat. Bé. rang sendiri merupakan senjata tradisional masyarakat Sumbawa berjenis senjata penebas yang dibuat oleh seorang panre (empu/pandai besi). Secara umum masyarakat Sumbawa mengenal tiga jenis gender yakni tau salaki (laki-laki), tau swai (perempuan) dan tau calabai (banci). Ketidakhadiran tau swai dan tau calabai dalam tradisi nganyang, adanya penggunaan istilah bé. rang sebagai sanak salaki (saudara laki-laki), serta pembedaan dan pembatasan akses tau swai dan tau calabai terhadap penggunaan bé. rang, menjadi alasan penelitian ini dilakukan. Permasalahan penelitian ini dibedah dengan menggunakan konsep eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi yang dikemukakan Peter L. Burger dan Thomas Luckmann (1990). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara garis besar konstruksi gender memang terjadi melalui bé. rang. Konstruksi gender tersebut menghasilkan “standar nilai” yang cenderung maskulin dan sedikit diskriminatif namun cukup dinamis. Selain itu konstruksi gender yang terwujud melalui bé. rang sangat terstruktur/hierarkis dan cenderung negosiatif. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana tau calabai yang masih diberi kesempatan untuk mengakses be.rang salaki dengan pertimbangan akan kembali menjadi tau salaki “normal”. Adapun hierarki gender tergambar dari adanya klasifikasi sesuai jenis be. rang yang dapat diakses seperti tau ode (anak laki-laki), tau taruna (pemuda), tau salaki rango (laki-laki dewasa), tau swai (perempuan) dan tau calabai (banci) merupakan bukti terjadinya konstruksi gender yang sangat terstruktur dan hierarkis. Konstruksi gender tersebut terjadi, terwariskan dan diperkuat oleh lembaga- lembaga yang ada dalam masyarakat Sumbawa seperti keluarga, Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat, Lembaga Adat Tana Samawa, Pemerintah Desa Rempe, sekolah-sekolah, dan kelompok Titik Api juga berperan penting sebagai perangkat legitimasi dalam konstruksi gender melalui bé. rang.
Full Text:
PDF (Bahasa Indonesia)DOI: https://doi.org/10.22146/jksks.60448
Article Metrics
Abstract views : 1924 | views : 3856Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2021 Jurnal Kajian Seni
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.